Dr. Ir. Ciputra lahir di kota kecil Parigi, Sulawesi Tengah
pada tanggal 24 Agustus 1931 dengan nama Tjie Tjin Hoan, ia anak ke 3 dari
pasangan Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio yang juga berlatar belakang keluarga
sederhana.
Kedua orang tuanya adalah seorang pedagang kelontong di Desa
Bumbulan.
Jiwa Dagang Yang Dipupuk sejak Kecil
Sejak kecil, ia telah membantu orang tuanya berdagang,
sehingga telah terbiasa bermain sambil berdagang. Lingkungan keluarganya sukses
menciptakan lingkungan entrepreneurial.
Orang tuanya adalah sosok pedagang kecil yang sangat
menghargai pelanggannya. Hal tersebut memberikan pengaruh kepada Ciputra sejak
ia kecil untuk bekerja keras, integritas, persistensi, dan memiliki determinasi
dalam hidup.
Masa kanak-kanak Ciputra sendiri tidak begitu beruntung.
Bungsu dari tiga bersaudara ini, di usia enam hingga delapan tahun diasuh oleh
tante-tantenya yang cukup “bengis”. Ia selalu diberi pekerjaan yang berat atau
menjijikkan, semisal membersihkan tempat ludah.
Tetapi, ketika menikmati es gundul (hancuran es diberi
sirup), para tantenyalah yang terlebih dahulu mencecap rasa manisnya. Ia
menilai hal tersebut sebagai hikmah tersembunyi dimana jiwa dan pribadinya
digembleng.
Ia terbiasa memburu binatang hutan dengan tombak dan 17 ekor
anjing yang kemudian dikonsumsi, dan selebihnya dijual untuk membantu menopang
ekonomi keluarga. Tidur sendiri di tengah kebun demi menjaga ladang adalah
salah satu tugas yang biasa dilakukannya.
Di tahun 1944, ayahnya ditangkap oleh tentara pendudukan
Jepang karena dituduh sebagai anti-Jepang dan tidak pernah kembali lagi.
Praktis, ibunya yang mengasuhnya penuh kasih menjadi orang tua tunggal yang
harus membanting tulang menghidupi keluarga.
Sejak itu pula Ci harus bangun pagi- pagi untuk mengurus
sapi piaraan, sebelum berangkat ke sekolah. Keluarga Ciputra hidup dari hasil
ibunya berjualan kue kecil-kecilan
Keterlambatan Sekolah Bukan penghalang untuk maju
Kepahitan masa kecil telah menimbulkan tekad dan keputusan
penting yaitu memiliki cita-cita bersekolah di Pulau Jawa demi hari depan yang
lebih baik, bebas dari kemiskinan dan kemelaratan. Akhirnya Dr. Ir. Ciputra
kecil kembali ke bangku sekolah walau terlambat. Ia terlambat karena negara
kita masih dalam suasana peperangan dengan tentara Belanda maupun Jepang. Ia
masuk kelas 3 SD di desa Bumbulan walau usianya sudah 12 tahun atau terlambat
hampir 4 tahun.
Di usia remaja, keadaan memaksanya menjadi seorang pengusaha
kecil untuk menyambung hidup. Ia menjual hasil pertanian dan perburuan.
Ia terbiasa membuat topi dau daun yang kemudian dijual di
masyarakat. Keadaan inilah yang semakin menempa
benih-benih entrepreneurshipdi dalam jiwanya.
Perjuangannya untuk bersekolah sendiri tidaklah mudah. Saat
menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD), ia harus berjalan kaki sepanjang tujuh
kilo meter tidak menggunakan alas kaki di pagi buta.
Sepulang sekolah, terik matahari dan hujan lebat seringkali
menjadi teman perjalanannya diiringi perut kosong. Penderitaan itu tidak
melunturkan semangatnya bahwa pendidikan nantinya akan membebaskan dari
himpitan kemiskinan dan kemelaratan.
Ketika usianya 16 tahun lulus dari SD kemudian melanjutkan
SMP di Gorontalo dan jenjang SMA di Menado setelah itu memasuki ITB jurusan
arsitektur di Bandung. Terlambat tapi bukan berarti terhambat bukan?
Ikuti perjalanan hidup
selanjutnya, bagaimana Ir. Ciputra memiliki cita-cita dan impian setinggi
langit untuk mengenyam pendidikannya
Diolah dari berbagai
sumber ; swa.co.id, http://digilib.uinsby.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar